Abstrak :
ABSTRAK
Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) yang memerlukan upaya pemberantasan dengan cara–cara yang luar biasa pula (extra ordinary measure), oleh karenanya dalam pengungkapannya dibutuhkan peran Justice Collaborator. Saat ini banyak Terdakwa tindak pidana korupsi mengajukan diri menjadi Justice Collaborator, hal ini tidak terlepas dari reward yang dapat diterima akan peranannya tersebut. Namun demikian tidak semua permohonan Terdakwa diterima menjadi Justice Collaboratour oleh pengadilan. Hal ini sebagaimana terjadi dalam kasus Adi Pandoyo yang permohonan Justice Collaboratornya dikabulkan oleh pengadilan dan dalam kasus Cahyo Supriyadi yang permohonan Justice Collaboratornya ditolak oleh pengadilan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan dan analitis, serta spesifikasi penelitian yaitu preskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder yang telah terkumpul disajikan dalam bentuk naratif, serta dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif yang terdiri dari interpretasi gramatikal, sistematis, sosiologi, dan komparatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua pelaku dapat menjadi Justice Collaborator. Syarat-syarat yang diatur dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 merupakan syarat mutlak dalam penerimaan seseorang menjadi Justice Collaborator, sehingga dapat mengesampingkan surat penetapan pimpinan KPK dan persyaratan yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014 dan Peraturan Bersama No. 11 Tahun 2011. Hal inilah yang menyebabkan permohonan terdakwa menjadi Justice Collaborator diterima oleh pengadilan dalam Putusan No 57/Pid.Sus-Tpk/2017/Pn.Smg dan permohonan Justice Collaborator ditolak oleh pengadilan dalam Putusan No 97/Pid.Sus-Tpk/Pn.Smg. Adapun akibat hukum sebagai Justice Collaborator adalah mendapat keringanan hukuman.
Kata Kunci : Justice Collaborator, Tindak Pidana Korupsi
|