MENU
|
|
Jenis | : |
KKM
|
Judul | : |
SISTEM PERADILAN PIDANA TERHADAP PELAKU ANAK
YANG PUTUSAN PERBUATANNYA TERBUKTI
SETELAH ANAK DEWASA
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Purbalingga)
|
Subjek | : |
|
Pengarang | : |
ALOYSIUS PRIMORYZA BIMAS DEWANTO
|
Pembimbing | : |
1. Dr. H. Setya Wahyudi, S.H., M.H.
2. Dr. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum
|
Prodi | : |
Magister Hukum
|
Tahun | : |
9/20
|
Call Number | : |
|
Perpustakaan | : |
Fakultas Hukum
|
Letak | : |
1 eksemplar di Koleksi Referensi
|
|
Abstrak :
Aloysius Primoryza Bimas Dewanto, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, “Sistem Peradilan Pidana Terhadap Pelaku Anak Yang Putusan Perbuatannya Terbukti Setelah Anak Dewasa (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Purbalingga)”. Pembimbing 1 : Dr. H. Setya Wahyudi, S.H., M.H., Pembimbing 2 : Dr. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum.
Pengertian anak yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia baik internasional maupun nasional sangat beragam, sesuai dengan kekhususannya. Pengertian anak ini perlu dijelaskan sebagai pengetahuan, perbandingan dan juga sebagai pertimbangan, namun dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum lebih khusus pada undang-undang terkait. Secara yuridis kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum, dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan anak menyangkut kepada persoalan-persoalan hak dan kewajiban, seperti masalah kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak, penyangkalan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, serta masalah pengangkatan anak dan lain-lain. Sedangkan dalam lapangan hukum pidana, menyangkut pertanggungjawaban pidana.
Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam hal ini bisa dikategorikan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum dalam ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 3 memberikan definisi anak yang berkonflik dengan hukum yaitu anak yang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Ketika anak tersebut diduga melakukan tindak pidana, sistem peradilan formal yang ada pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak kedalam penjara ternyata tidak menjadikan anak menjadi jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh kembangnya.
Anak yang berhadapan dengan hukum tidak sembarangan dapat diajukan ke sidang peradilan, terdapat batas umur untuk anak yang dapat diajukan ke sidang peradilan ,berikut batas usia anak yang dapat diajukan sidang menurut UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang terdapat dalam Pasal 4 (empat) berbunyi sebagai berikut :
(1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah Sekurang-kurangnya 8 (delapan) Tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke sidang Anak.
Sedangkan batas usia anak yang dapat diajukan sidang menurut UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam pasal 20 yang berbunyi sebagai berikut :
“Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak.”
Selanjutnya dalam upaya lebih memberikan kepastian tentang waktu dan tempat tindak pidana, maka erat dengan konsep tentang waktu tindak pidana (tempus delicti), yang menyatakan bahwa “ waktu tindak pidana ditentukan pada saat pembuat melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan .
Bahwa dalam penyelesaian tindak pidana anak yang perbuatannya terbukti setelah pelaku dewasa, hakim harus lebih bijak dalam menerapkan hukumnya agar tidak terjadi penerapan hukum yang salah sehingga pelaku anak benar-benar ditempatkan dalam posisinya dengan baik sebagai anak yang patut mendapatkan perlindungan hukum dengan baik.
|
Kembali
|