Abstrak :
Seiring dengan semakin meningkatnya penggunaan pesawat sipil sebagai
moda transportasi, semakin meningkat pula tindak pidana penerbangan yaitu
tindak pidana yang dilakukan di bidang penerbangan sipil, termasuk dilakukan di
dalam pesawat udara. Salah satu kejahatan di bidang penerbangan adalah
pembajakan pesawat (air hijacking). Peristiwa air hijacking salah satunya adalah
pembajakan pesawat DC-9 Woyla pada 1981, sebuah pesawat sipil berbendera
Indonesia yang berada di Thailand menimbulkan permasalahan yurisdiksi. Tidak
seperti pembajakan di laut (piracy), yurisdiksi pada pembajakan udara
memerlukan keikutsertaan negara-negara dalam konvensi anti-pembajakan udara
untuk mengekstradisi kejahatan tersebut. Inilah peristiwa pembajakan pesawat
yang dilakukan teroris berkedok agama pertama dan satu-satunya di Indonesia
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan yurisdiksi negara
pada pelaku kejahatan penerbangan sipil dengan studi kasus pembajakan pesawat
Garuda Indonesia DC-Woyla 1981. Metode penelitian yang digunakan dalam
penulisan ini adalah deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif terhadap
peraturan yang ada dan menggunakan metode penyajian teks naratif.
Kasus Woyla merupakan sebuah kasus kejahatan terhadap penerbangan
sipil dan kasus ini melibatkan dua yurisdiksi negara yaitu Indonesia dan Thailand
sehingga keduanya memiliki yurisdiksi untuk penentuan penghukuman pelaku
pembajakan udara. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil
kesimpulan bahwa yurisdiksi yang berlaku adalah yurisdiksi Indonesia.
Penentuan yurisdiksi tersebut didasarkan pada konvensi-konvensi pembajakan
udara yaitu Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970, dan Konvensi
Montreal 1971 yang masing-masing mempunyai yurisdiksi materiil sendiri-
sendiri.
Kata kunci : yurisdiksi, pembajakan udara, penerbangan sipil
|